Selasa, 08 September 2015

Hero (2): Malahayati, Laksamana Muslimah Penakluk Penjajah

Reporter : Eko | Senin, 10 November 2014 18:38Menghimpun janda-janda dalam pasukan perang Inong Balee. Memukul Belanda dan Portugis. Dikenang sebagai 10 panglima perang dunia terbesar.

Dream - Perempuan itu berdiri gagah. Memimpin ribuan pasukan dari atas geladak. Ratusan kapal yang mengikutinya membuat Selat Malaka yang sempit itu semakin terasa sesak.

Suaranya lantang. Menyeru di antara deru meriam perang. Memompa semangat para prajurit. Berjuang menegakkan kedaulatan negeri yang tengah berjaya.

Dialah Keumala Hayati. Panglima perang Kesultanan Aceh. Perempuan perkasa yang sangat disegani pada zamannya. Jangan sebut perompak kacangan. Armada-armada ulung sekaliber Portugis dan Belanda pun dibuat bertekuk lutut.

Kerajaan Inggris yang juga mulai menggeliat sebagai imperium kala itu dibuat jeri. Memilih berdamai daripada melakoni perang menghadapi perempuan yang juga dikenal dengan nama Malahayati ini.

Keumala Hayati memang luar biasa. Meski perempuan, dia dipercaya memimpin ribuan tentara laut. Sebuah tugas yang pada zaman itu hanya bisa dilakukan kaum laki-laki. Dan dunia mencatatnya sebagai laksamana wanita pertama di jagat pelayaran modern.

Di dalam tubuh Keumala Hayati memang mengalir darah pejuang. Bapaknya adalah Laksamana Mahmud Syah, Panglima Kerajaan Aceh. Kakeknya, Muhammad Said Syah, juga seorang laksamana terkemuka.

Kakek buyutnya, Sultan Salahuddin Syah, merupakan pemimpin Aceh pada tahun 1530-1539. Sultan Salahuddin merupakan putra Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri kerajaan Aceh Darussalam yang berkuasa sejak 1513 hingga 1530.

Lingkaran itu pula yang membuat Keumala Hayati sejak kecil sudah karib dengan laut. Sehingga, selepas dari pesantren, dia menempuh pendidikan angkatan laut. Menimba ilmu di akademi militer Kerajaan Aceh, Ma'had Baitul Makdis. Akademi militer tersohor yang dibangun atas sokongan Sultan Selim II, penguasa Turki Utsmaniyah.

Keumala Hayati dibekali otak yang cemerlang. Sehingga, dia tak canggung bersaing dengan kaum lelaki di akademi angkatan laut itu. Dia bahkan tumbuh sebagai prajurit brilian. Jiwa pemimpin yang dia punya semakin terasah.

Karena itu pula banyak kadet lelaki yang ingin mempersunting gadis yang tengah mekar ini. Dan hati Keumala Hayati tertambat pada seorang kakak kelas yang rupawan. Mereka kemudian menikah.

Lulus dari akademi, Keumala Hayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam. Sang suami didaulat menjadi laksamana.

Namun sayang, pernikahan yang masih seumur jagung itu harus berakhir. Sang suami gugur dalam tugas. Sang laksamana terbunuh saat bertempur melawan Portugis di Teluk Haru alias Selat Malaka.

Sebagai manusia biasa, kematian sang suami membuat Keumala Hayati terpukul. Namun dia tak berlarut-larut dalam kesedihan. Setelah kematian sang suami, semangatnya malah terbakar.

Keumala Hayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, Raja Aceh yang berkuasa pada 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.

Gayung bersambut. Sang Sultan setuju. Saat itu, Kesultanan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Sejak kekalahan Kesultanan Melaka dari Portugis pada 1511, Kesultanan Aceh menjadi musuh terbesar penjajah asal Eropa itu.

Keumala Hayati kemudian berinisiatif membentuk Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda. Anggotanya adalah janda-janda tentara yang tewas dalam pertempuran Selat Melaka. Dia menjadi panglima pasukan yang bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee setinggi tiga meter dibangun. Dilengkapi meriam. Sisa-sisa benteng pertahanan itu kini masih bisa dilihat di Aceh.

Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang. Dari unit inilah Keumala Hayati dipercaya sebagai Laksamana Kesultanan Aceh.

John Davies, kapten Inggris yang bekerja untuk kapal Belanda mencatat kala itu Aceh tengah menggencarkan pelayaran di Selat Malaka. Aceh menyebar seratus kapal perang besar dengan awak 400 hingga 500 tentara laki-laki.

Salah satu komandan kapal perang Aceh itu adalah Laksamana Keumala Hayati. Menurut catatan itu, Keumala Hayati tak hanya gagah-gagahan saja di kapal. Dia dengan perkasa terlibat pertempuran bersama anak buahnya di Selat Malaka itu. Salah satu pertempuran yang paling dikenal adalah penenggelaman enam kapal Portugis di Selat Malaka.

Keumala Hayati juga tampil gemilang saat melawan pasukan ekspedisi Belanda. Pasukan Belanda yang baru saja bertempur melawan Kesultanan Banten tiba di Aceh. Kala itu 21 Juni 1599. rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick de Houtman disambut dengan baik. Namun armada asing itu malah bertindak kurang ajar. Mereka menyerbu pelabuhan Aceh.

Pasukan Aceh melawan. Laskar Keumala Hayati menjadi tameng paling depan. Mereka sangat tangguh. Pertempuran ini terjadi berpekan-pekan. Akhirnya armada Belanda berhasil diseterika. Bahkan pada 11 September, Cornelis de Houtman tewas di tangan Malahayati. Sementara, Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun.

Niat menjajah Aceh membuat Belanda tak jera. Mereka kembali mengirim pasukan pada 21 November 1600. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Saat merapat di Aceh, mereka langsung menyerang dengan membabi buta. Kapal-kapal yang penuh muatan rempah dijarah. Kapal-kapal di pantai Aceh itu juga ditenggelamkan.

Juni tahun berikutnya, Keumala Hayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.

Keumala Hayati ditunjuk sebagai pimpinan delegasi Aceh untuk perundingan dengan Belanda itu. Di sinilah keahlian lain Keumala Hayati terlihat. Tak hanya garang di palagan perang, dia rupanya juga lihai berdiplomasi. Menjadi negosiator ulung.

Perundingan itu terjadi pada Agustus 1601. Keumala Hayati memimpin Aceh, Belanda diwakili Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker, dan Gerard de Roy. Dalam perundingan itu disepakati gencatan senjata antara Belanda dan Aceh. Belanda juga bersedia membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.

Sepak terjang Keumala Hayati akhirnya sampai ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga mereka memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth mengirim surat kepada Sultan Aceh melalui James Lancaster untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Karena negosiasi dengan Keumala Hayati berhasil, Ratu Elizabeth menganugerahi gelar Knighthood kepada Lancaster.

Keumala Hayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut dia gugur dalam pertempuran itu dan dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.

Malahayati, nama panggilan Keumala Hayati, sungguh melegenda. Gelar pahlawan pun disematkan. Salah satu kapal perang TNI Angakatan Laut bahkan menyandang namanya. Namun sayang, sangat sedikit literatur tentang tokoh sebesar Keumala Hayati ini. Sehingga tidak diketahui pasti kapan tahun lahir dan meninggalnya.

Yang jelas, nama Keumala Hayati harum hingga penjuru dunia. Pahlawan Nasional ini sering disebut sebagai satu dari 10 Best Woman Warrior, dan satu dari Tujuh Perempuan Dunia dalam Sejarah. (eh)



Asal-Usul Cut Nyak Dhien

Bunga Rampai Aceh

5 Juni 2012

ut Nyak Din dilahirkan kira-kira dalam tahun 1850, di Kampung Lampadang, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Ayahnya bernama Nanta Muda Seutia, berasal dari turunan Makhdum Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Ia adalah cikal-bakal yang membangun wilayah VI Mukim menjadi lebih terkenal dan makmur. Ibunya seorang turunan bangsawan yang terpandang dari Kampung Lampagar. Karena istrinya inilah maka nama Nanta Muda Seutia makin terkenal dan dihormati oleh rakyat VI Mukim. Pada waktu sebelum Nanta menjadi uleebalang, wilayah VI Mukim dipimpin oleh Uleebalang Teuku Nek dan pusat kedudukannya berada di Meuraksa. Ia menjalankan pemerintahan wilayah VI Mukim kurang adil dan kurang bijaksana. Rakyat sangat tertekan dan menderita oleh tindakan pemerasan yang dilakukan oleh Teuku Nek. Karena praktek yang merugikan ini, ia tidak disenangi oleh rakyat VI Mukim.

Pada abad ke-I 7 kekuasaan Aceh telah meluas sampai ke Sumatra Barat. Daerah ini sangat penting artinya bagi Aceh baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi. Dalam bidang politik berarti Aceh telah menanamkan kekuasaannya dan daerah ini merupakan "vazal". Sedangkan dalam bidang ekonomi daerah ini merupakan penghasil lada yang sangat penting dalam pasaran dunia dan dengan menguasai daerah tersebut berarti dapat menarik keuntungan yang banyak bagi Aceh. Karena perkembangan ini Ratu Tajjul Alam mengangkat Uleebalang Panglima Nanta untuk mengatur dan mengawasi daerah vazal ini. Salah seorang keturunannya, ialah Makhdun Sati. Dalam tubuh Makhdun Sati mengalir darah Aceh dan darah Minangkabau.

Dalam zaman pemerintahan Sultan Jamalul Alam (1703 — 1726), Makhdun Sati beserta rombongan yang terdiri 12 perahu berlayar menuju arah utara melalui pantai barat Pulau Sumatra. Pelayaran ini terdorong oleh adanya berita yang menarik hati mereka, bahwa diujung utara Pulau Sumatra banyak terdapat kekayaan alam yang terpendam berupa emas. Dengan menempuh perjalanan panjang dan lama, rombongan Makhdun Sati sampai di Pasir Karam. Daerah ini terletak di pantai barat Aceh dekat Meulaboh.

Kemudian rombongan ini tinggal menetap untuk membuat perkampungan dan melalui hidup baru biarpun daerah ini masih asing bagi mereka. Ketika rombongan Makhdum Sati mendarat di Pasir Karam, sepasukan tentara Aceh sedang bertempur menghadapi pengacau suku Mantir yang belum memeluk ajaran Islam.8' Pasukan Aceh yang sedikit jumlahnya ini hampir terdesak oleh pengacau Mantir yang lebih banyak jumlahnva. Melihat tekanan yang diberikan suku Mantir, Makhdun Sati dengan rombongannya yang merasa berkewajiban menolong sesama Islam memberikan bantuan.

Kerjasama yang rapi menvebabkan gerombolan pengacau Mantir dapat dikalahkan dan mereka yang tinggal melarikan diri ke arah hulu ke pegununggan. Dengan kekalahan suku Mantir, daerah ini menjadi aman. Sebagai rasa terima kasih kepada bantuan Makhdun Sati. pimpinan pasukan Aceh dengan ikhlas memberikan daerah Pasir Karam untuk dibagi-bagikan kepada rombongan Makhdun Sati sebagai tempat tinggal mereka. Kemudian dengan penuh ketekunan mereka membuka persawahan dan peladangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rumah-rumah dibangun dengan bergotong-royong, sesuai dengan rumah adat yang ditinggalkannya, dalam waktu singkat Makhdun Sati serta pengikutnya telah menjadi orang-orang makmur.

Selanjutnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, sehingga persaudaraan terjalin secara akrab seperti di kampung yang di tinggalkannya. Kemudian Makhdun Sati berserta rakyatnya menyatakan kesetiaannya kepada kekuasaan Sultan Aceh. Karena tidak adanya kepuasan, maka Makhdun Sati membawa rakyatnya bergerak ke utara lagi ke muara Sungai Wolya. Daerah ini lebih subur daripada daerah Pasir Karam Daerah ini terletak antara daerah Pidie dan Gleupang.

Kemudian mereka membuka persawahan dan ladang untuk menanam lada. Di samping itu mereka menemukan bijih emas yang dibawa arus Sungai Wolya. Kerena itu rakyat Makhdun Sati setiap hari dengan tekun mengumpulkan bijih-bijih emas pada tempat ini. Dengan penuh ketekutan mereka dapat mengumpulkan emas dalam jumlah yang banyak. Berkat kemakmuran yang diperoleh rakyat. Makhdun Sati membangun sebuah kota di Kuala Bie sebelah utara Pasir Aceh lengkap dengan rumah adatnya. Kota ini menjadi kota dagang dan terus berkembang serta menjadi lebih ramai dengan kedatangan pedagang dari berbagai penjuru . Perkembangan kota menjadi kota dagang turut mengangkat nama Makhdun Sati. Rakyatnya makin makmur karena dapat mengambil keuntungan dari pedagang tersebut.

Berita kemakmuran daerah Makhdun Sati terdengar oleh Sultan Aceh yang berkuasa. Daerah ini merupakan wilayah Aceh yang harus tunduk pada peraturan sultan. Setiap daerah harus menyerahkan upeti kepada sultan sebagai tanda setia. Karena itu sultan mengirim utusan kepada Makhdun Sati sebagai penguasa daerah agar menyerahkan upeti. Tetapi Makhdun Sati dengan keras menolak apa yang dikehendaki Sultan Aceh. Sebagai rasa tidak senang, ia menyerahkan upeti kepada sultan berupa besi tua yang berkarat sebagai persembahan.

Menerima itu sultan sangat marah, ia merasa dihina oleh perbuatan Makhdun Sati. Karena itu sultan mengirim sepasukan tentara di bawah pimpinan Panglima Penghulu Perahu dari Keumangan untuk mengambil tindakan. Pasukan Penghulu Penaru dapat menghancurkan kekuatan Makhdun Sati. Hampir Makhdun Sati dapat ditawan dan dibawa menghadap sultan Aceh. Karena kesalahannya yang berat, yakni melawan kekuasaan yang sah dengan menggerakkan rakyatnya, maka majelis pengadilan kerajaan menjatuhkan hukuman mati buat Makhdun Sati.

Tetapi dengan beberapa pertimbangan sultan mengambil kebijaksanaan untuk memberi ampunan atas kesalahan yang diperbuat Makhdun Sati. Makhdun Sati menginsafi tindakkannya yang salah, karena itu setelah diberi ampunan, ia mengabdi kepada sultan Aceh. Karena itu ia diangkat oleh suitan menjadi barisan pengawal istana kesultanan dan ia mendapat tempat di wilayah VI Mukim, dekat Betay.

Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Muhammad Syah (1787 — 1795) timbul sedikit keguncangan politik dalam pemerintah Aceh, sungguh pun Sultan telah berusaha menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia berusaha menempatkan diri dengan adil dan terus mengadakan hubungan baik dengan Panglima Sagi XXII Mukim yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sultan Iskandar Muda.

Tetapi karena suatu hal kecil saja. Panglima Sagi XXII Mukim merasa sakit hati pada sultan. Karena hal tersebut. Panglima Sagi XXII mengerahkan kekuatannya untuk menyerang kraton hendak menjatuhkan sultan dan akan menggantikannya. Serangan dilakukan dari berbagai jurusan. Hubungan istana ke luar diputuskan; suplai makanan ke istana diawasi dengan ketat, sehingga istana hampir kehabisan bahan makanan. Panglima Istana yang mengatur pertahanan tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya bertahan dalam benteng menunggu kehancuran. Sedangkan serangan yang dilancarkan pasukan Panglima Sagi XXII Mukim makin rapat dan sangat mencemaskan isi kraton.

Dalam kemelut yang menentukan ini, kalah atau menang Makhdun Sati dengan pengikutnya datang dari VI Mukim secara diamdiam di waktu malam memberikan bantuan kepada sultan. Pasukannya bergerak cepat memotong pasukan Panglima Sagi XXII Mukim dan berusaha terus mendesak keluar. Sebelum fajar menyingsing pasukan tersebut telah dapat memukul mundur pasukan Panglima Sagi XXII Mukim dan pasukan penyelamat secara diamdiam pula menghilang kembali ke VI Mukim. Kiranya bantuan ini dapat menyelamatkan kedudukan sultan.

Atas jasa Makhdun Sati kepada Sultan Alaidin Muhammad Syah, sultan menganugrahkan pangkat kehormatan kepadanya menjadi Panglima Sagi dan dengan nama tambahan "Nanta", seperti nama neneknya. Dan karena kesetiaannya kepada sultan, namanya menjadi Seutia Raja. Kemudian ditambahkan pula nama kebesaran, Uleebalang Poteo, '"' vang artinya hulubalang sultan dan bebas dari Panglima Sagi.

Keputusan sultan tersebut dicantumkan sebagai tambahan dalam Undang-undang Mahkota Alam. Dengan demikian namanya secara lengkap menjadi Panglima Nanta Cik Seutia Raja. Setelah kedudukannya dikukuhkan sultan Aceh, daerah kekuasaan Nanta Cik diperluas dengan menambah pulau-pulau yang terletak dipantai wilayah VI Mukim. Kepadanya diberikan kekuasaan penuh untuk mengatur daerah tersebut seperti pengaturan kapal dan perahu keluar-masuk dan memungut bea cukai lain-lainnya.

Nama kebesaran dan kedudukannya boleh terus diwariskan kepada anak-cucunya.

Kedudukan Nanta makin bertambah kuat setelah ia kawin dengan anak Teuku Nek bangsawan dari Meuraksa. Teuku Nek adalah seorang yang terpandang dan di segani. Ia pernah diangkat menjadi panglima perang dalam masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah. Dari perkawinan ini lahirlah Teuku Nanta Muda Seutia dan Teuku Cut Muhammad Teuku Nanta Muda Seutia kawin dengan anak bangsawan Lampagar. Anaknya adalah Teuku Rayut dan Teuk Cut Nyak Din. Teuku Rayut akalnya kurang sempurna sehingga ia tidak diharapkan oleh Nanta untuk menggantikan kedudukannya sebagai uleebalang di VI Mukim.

Karena itu Teuku Nanta lebih banyak memperhatikan Cut Nyak Din. Ia mengharapkan Cut Nyak Din dapatmeneruskan kedudukannya sebagai pemimpin di VI Mukim. Teuku Muhammad kawin dengan Cut Mahani, adik keujuran Abdul Rahman dari Meulaboh. Anaknya enam orang, dua perempuan dan empat laki-laki. Yang laki-laki antara lain Teuku Cut Ahmad, Teuku Puteh, Teuku Umar dan Teuku Musa. Di antara keempat anak ini yang paling menonjol hanyalah Teuku Umar.

Diposkan oleh Chaerol Riezal

Asal-Usul Cut Nyak Meutia

Bunga Rampai Aceh

5 Juni 2012

Pirak yang merupakan salah satu daerah uleebalang yang sekalipun setingkat lebih rendah dari Keureuto. di dalam hal pemerintahan dan kehakiman berdiri sendiri serta tidak tunduk di bawah kekuasaan Keureuto. Daerah ini mempunyai lembaga kehakiman sendiri yang dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat yang rendah. Kedudukan daerah ini disebut denganistilah ben, seperti Ben Pirak, Ben Seuleumak. dan lain lain. Sebelum perang Belanda di Aceh pecah. daerah Ben Pirak tidak begitu terkenal jika dibandingkan dengan daerah Keureuto.

Setiap orang yang menjadi uleebalang diberikan gelar teuku ben. Daerah-daerah keuleebalangan yang lebih besar (pada waktu pemerintahan Belanda disebut Zelfbestuur) yang mempunyai daerah uleebalangcut di bawahnya, uleebalangnya digelar teuku chiek. Sebelum diduduki Belanda Pirak diperintah oleh seorang uleebalang yang bernama Teuku Ben Daud. Pada masa yang sama pula di daerah Keureuto ada Cut Nyak Asiah, yang mewarisi takhta keuleebalangannya itu dari suaminya. seperti telah dijelaskan di muka.

Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud berada dalam keadaan yang penuh ketenangan dan kedamaian. Ini disebabkan uleebalang yang memerintah negeri itu adalah seorang uleebalang yang bijaksana serta selalu memperhatikan keadaan rakyatnya. Dia bukan saja uleebalang yang penuh dengan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi ia juga seorang ulama. Dalam kedudukannya sebagai seorang uleebalang dan ditambah dengan keahliannya dalam lapangan agama. Teuku Ben Daud disenangi rakyatnya dan dihormati oleh pihak kawan dan lawannya.

Teuku Ben Daud memperisterikan seorang gadis rupawan bernama Cut Jah, yaitu anak uleebalang Ben Seuleumak. Orang-orang di Kampung Pirak menamakannya Cut Mulieng, karena ia beradal dari Kampung Muling daerah Seuleh (520). Dari perkawinan inilah Teuku Ben Daud memperoleh keturunan lima orang anak yang terdiri atas empat laki-laki dan satu anak perempuan. Anaknya yang tertua bernama Cut Beurahim lalu disusul oleh Teuku Cut Hasan yang juga bergelar Teuku Muhammad Ali. Untuk lebih jelasnya lihat silsilah Cut Nyak Meutia pada lamphan.

Satu-satunya puteri dari Teuku Ben Daud yang lahir dalam tahun 1870, diberi nama Meutia. Meutia berarti mutiara. Parasnya cantik, sangatlah cocok dengan nama meutia yang diberikan kepadanya. Dia benar-benar merupakan sebuah mutiara di antara semua wanita. Cut Nyak Meutia bukan saja cantik. Ia juga memiliki tubuh yang indah dan menggairahkan.

Dalam pakaian upacaranya yang indah dengan menggunakan siluweue (celana) Aceh yang terbuat dari sutera berwarna hitam, dengan baju berkancing perhiasan-perhiasan emas dengan rambutnya yang hitam pekat serta dihiasi ulee ceumara (kepala cemara) yang terbuat dari emas, dengan gelang kaki yang melingkarin pergelangan. wanita itu bagaikan seorang bidadari (45:26:578). Sebagaimana lazimnya bagi setiap anak perempuan di Aceh sebelum menanjak remaja. Cut Nyak Meutia dididik dengan pelajaran-pelajaran agama di tempat-tempat pengajian.

Walaupun telah dewasa dan tinggal bersama keluarganya. Pendidikan tidak ditinggalkan. Kepadanya tetap diberikan pelajaran agama dengan cara mendatangkan ulama ke rumahnya dan bahkan ayahnya sendiri yang ahli dalam masalah agama juga bertindak sebagai guru. Cut Nyak Meutia adalah seorang anak yang patuh serta menurut. Karena pendidikan yang diterimanya sejak kecil sampai dewasa ia merasakan dengan sungguh-sungguh kebesaran agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan agama manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya.

Harta benda, pangkat, sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada artinya bagi kehidupan kalau diluar ridha Allah swt. Demikianlah keyakinan yang tertanam di dalam dada Cut Nya Meutia, bahkan pada seluruh rakyat Aceh (36:578). Pada masa Cut Nyak Meutia menanjak dewasa, keadaan politik di Aceh berada pada saat-saat yang krisis. Pusat pemerintahan Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda dan daerah-daerah di sekitar Aceh Besar telah dikuasai musuh. Keadaan ini memberi pengaruh yang besar bagi kehidupan daerah-daerah yang masih belum dapat dikuasai Belanda, termasuk daerah Pirak.

Pendidikan semakin dipergiat untuk membendung perluasan kekuasaan Belanda kalau sebelumnya pendidikan lebih diarahkan untuk mengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang banyak hubungannya dengan hukum-hukum Islam, kini lebih dititikberatkan pada menanam keyakinan akan kebesaran Islam dan bahaya-bahaya yang sedang mengancam Islam. Belanda masuk ke Aceh bukan saja untuk merebut daerah Aceh, tetapi juga untuk menghancurkan agama Islam. Perkembangan politik dan agama selalu dibicarakan dalam setiap dayah (pesantren besar) yang terdapat di luar Aceh Besar atau daerah-daerah yang masih belum dapat dikuasai Belanda, termasuk Pirak. Salah sebuah dayah yang terkenal di daerah ini adalah Dayah Tgk. Beuringen, yang menyelenggarakan pendidikan bagi kaum laki-laki.

Keadaan politik yang demikian menjadi pembicaraan luas dalam seluruh lapisan masyarakat tidak saja di kalangan kaum laki-laki tetapi termasuk kaum perempuan. Keadaan ini sangat mengesankan Cut Nyak Meutia, terutama karena keluarganya termasuk keluarga uleebalang yang taat kepada agama serta telah menyatakan akan memusuhi Belanda serta menentangnya apabila musuh sampai ke daerahnya. Dalam suasana demikianlah Cut Nyak Meutia dibesarkan dan kesemuanya ini turut mempengaruhi sikap Cut Nyak Meutia setelah ia dewasa.

Seperti telah dijelaskan di muka sebelum masuknya Belanda ke daerah Aceh Utara, terutama ke daerah-daerah Keureutoe dan Pirak. daerah ini merupakan daerah yang subur dengan rakyatnya yang makmur, terutama yang mendiami daerah Keureutoe. Keuleebalangan Keureutoe pada waktu ini diperintah oleh Cut Nyak Asiah setelah suaminya Teuku Chi' Muda Ali meninggal dunia. Kemakmuran dan kemashuran yang telah diwariskan suaminya te tap dapat dipertahankan terus. Keharuman namanya semakin menanjak, sewaktu ia dapat membantu Sultan Muhammad Daud memusatkan pertahanan daerah Pasai dalam Tahun 1901.

Dengan bermacam-macam cara ia turut membantu sultan dalam rangka pertahanan daerah Aceh. terutama mengumpulkan perbekalan yang dibutuhkan oleh muslimin dalam melakukan gerakan perang sabil. Pengorbanan yang dilakukan oleh Cut Nyak Aisah tidak sampai di situ saja, bahkan salah seorang putera angkatnya (Teuku Cut Muhammad) turut bergerilya bersama-sama dengan pasukan sultan di daerah Pasai (41:85:-87). Bersama" dengan kepemimpinan Cut Nyak Asiah di Keureutoe daerah Pirak berada di bawah pemerintahan- Teuku Ben Daud.

Sewaktu Pemerintah Belanda sampai ke Aceh Utara, Teuku Ben Daud giat membantu Sultan Muhammad Daud dan Panglima Polem, baik dalam bentuk fisik dan material. Dia mengkoordinasi rakyatnya untuk mengumpulkan perbekalan yang diperlukan oleh pasukan sultan serta membentuk laskar rakyat guna membantu sultan secara fisik (65). Bantuan yang diberikan Teuku Ben Daud diperbesar lagi sewaktu pusat pertahanan sultan berada di daerah Pasai sejak Tahun 1901 sampai pertengahan Tahun 1903. saat mana sultan.

Panglima Polem dan pengikut-pengikutnya turun dari bergerilya. Teuku Bend Daud tetap aktif bersama-sama rakyat dan secara terus-menerus menentang penjajahan Belanda sejak Belanda menguasai daerah Pasai.Keureuteo dan daerah-daerah lain di sekitarnya. Semenjak daerah demi daerah di Aceh Utara dikuasai oleh Belanda, para ulama di setiap daerah uleebalang menyusun perlawanan secara bersama guna menghadapi Belanda.

Pucuk pimpinan Kesultanan Aceh tetap berada pada Sultan Muhammad Daud dengan pusat pemerintahan berpindah tempat dari satu daerah pedalaman ke daerah lain yang lebih aman. Perjuangan yang disusun oleh para uleebalang ini menyukarkan bagi Belanda dalam usaha pasifikasinya di Aceh. Tindakan keras yang dilakukan oleh Van Heutz selaku Gubemur Sipil dan Militer untuk Aceh, diimbangi dengan perlawanan yang keras oleh rakyat Aceh Utara di bawah uleebalangnya masingmasing.

Para uleebalang yang telah diangkat oleh sultan dengan mendapat cap sikureung tidak dianggap sah oleh Belanda setelah mereka menduduki daerah itu. Ini disebabkan oleh karena banyak di antara uleebalang tidak mau menerima persyaratan yang diajukan oleh Belanda. Pemerintah Belanda pada umumnya selalu menyodorkan konsep perjanjian pendek yang memuat pengakuan Pemerintah Belanda dan bersedia tunduk di bawah Pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda tidak jarang melakukan pemecahan daerah-daerah yang besar menjadi beberapa daerah yang masingmasing diperintah seorang uleebalang yang mereka percaya atau yang telah mau bekerja sama dengan mereka percaya atau yang telah mau bekerja sama dengan mereka. Semua konstruksi politik dan pemerintahan daerah yang mereka anggap membahayakan atau memang dengan terang-terangan membrontak terhadap mereka. selalu dihancurkan (45:115).

Demikianlah keadaan ini berjalan cukup lama dan dalam masa yang begitu panjang terdapat pulalah perubahan-perubahan politik, yaitu adanya uleebalang yang mau bekerja sama dengan menandatangani Korte Verklaring, dan uleebalang yang tetap menentang penjajahan sampai beberapa keturunan lamanya. Daerah yang termasuk ke dalam kategori pertama termasuk Keureutoe di bawah Cut Nyak Asiah yang diteruskan oleh Teuku Syamsarif dengan gelar Teuku Chi' Bentara yang dengan resmi diangkat sebagai uleebalang Chi' Keureutoe oleh Van Heutz dalam Tahun 1899 (45:115. 41:87). Adapun yang tergolong ke dalam kelompok yang kedua antara lain ialah Keuleebalangan Pirak, di mana para uleebalangnya mulai dari Teuku Ben Daud dan anaknya termasuk yang perempuan, yaitu Cut Nyak Meutia, tetap menentang penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya masing-masing (53).

Teuku Ben Daud yang dibantu oleh anak-anaknya beserta pengikut-pengikutnya tetap menolak menandatangani Korte Verklaring. Setelah daerah mereka dirampas oleh musuh, mereka memindahkan pusat pemerintahan, yang sekaligus menjadi pusat pertahanan, ke hulu Krueng Jambo Aye. Daerah ini sejak 1905 kemudian dijadikan pula pusat pasukan Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggro.

Mereka tetap bergerilya, sekalipun Sultan Muhammad Daud dan Panglima Polem telah turun dalam Tahun 1903. Tekad untuk membebaskan kembaü tanah air dari musuh. atau mati sahid. semakin lebih membara di dalam dada mereka. Tekad ini tidak dapat digoyahkan oleh siapa pun dan dalam bentuk bagaimana pun. Satu-satunya keturunan dari uleebalang Keureutoe yang mempunyai pendirian serta tekad yang sama dengan uleebalang Pirak adalah saudara Teuku Chi Bentara. yaitu Teuku Cut Muhammad.

Selain bergerilya dan memindahkan pusat pertahanan seperti yang telah disebutkan. masih ada lagi taktik dan strategi lain yang mereka atur untuk menghadapi musuh. Beberapa orang di antara anak Teuku Ben Daud yang laki-laki. di antaranya Teuku Muhammad Syah dan Teuku Muhammad Ali. tidak selalu bersama-sama dengan ayahnya yang bebas di gunung-gunung. Mereka tetap di kampung sebagai uleebalang Pirak yang diakui oleh rakyatnya kendatipun pihak Belanda tidak mengakuinya.

Dengan bermodalkan kepercayaan rakyat. mereka mengumpulkan perbekalan yang dibutuhkan pihak ayahnya. Teuku Ben Daud menyadari apabila semua anaknya turut bergerilya dengan mudah Belanda bisa mengucilkan mereka dari rakyat. Selain itu akan sulit untuk memperoleh bantuan secara ko'tinu untuk melanjutkan perjuangan (50: 53, 60).

Dengan taktik yang demikian itulah Teuku Ben Daud dan pengikut-pengikutnya dapat bertahan puluhan tahun lamanya. serta menghadapi serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Belanda. Kemampuan untuk bertahan lama ini tidaklah tergantung kepada lengkapnya persenjataan, tetapi yang dominan pengaruhnya adalah adanya bantuan moral dari rakyat. Di samping itu juga turut sertanya sebagian besar ulama-ulama terkenal, yang merupakan tokoh-tokoh religius yang berpengaruh, yang dapat membangkitkan semangat setiap saat.

Diposkan oleh Chaerol Riezal

Perempuan-perempuan Aceh (Para Pejuang Tangguh di Zamannya)



22 April 2013 22:56:47



Judul Buku : PEREMPUAN-PEREMPUAN ACEH (Para Pejuang Tangguh Di Zamannya) Penulis : Putra Gara Terbit : 2013 Selalu ada yang berbeda, ketika membicarakan perempuan Aceh. Karena disaat perempuan Indonesia secara umum saat ini masih berjuang menegakkan kesamaan haknya – yang terinspirasi oleh sosok R.A. Kartini yang telah ditasbihkan sebagai pejuang emansipasi, jauh sebelumnya para perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagaimana manusia yang setara tanpa perdebatan.

Barangkali selama ini yang kita kenal pahlawan perempuan dari Aceh hanya Cut Nyak Dien atau Cut Mutia saja, namun sesungguhnya, sejarah Aceh telah mencatat, banyak perempuan-perempuan Aceh di zamannya telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan yang tidak kalah pentingnya dari perjuangan kaum pria. Keterlibatan perempuan Aceh dalam politik dan pemerintahan bukanlah cerita baru. Dalam bidang militer ada korp tentara wanita, yang langsung terjun ke dalam kancah perang, ada juga yang bertugas di istana.

Resimen pengawal istana tersebut dinamai Suke Kawai Istana. Selain itu ada lagi yang disebut Si Pai Inong, yakni korp prajurit wanita. Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si PaiInong dipimpin oleh dua Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut Meurah Inseuen. dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V,seorang sultan yang dinilainya bodoh dan bejad.

Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketumpuk pimpinan sebagai Sultan, mampu membawa Aceh kemasa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai sekarang. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) korp tentara wanita itu diperbesar dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya, yang merupakan divisi pengawal istana, yang dipimpin oleh seorang laksamana wanita. Dalam divisi ini juga dibentuk satu batalion pasukan kawal kehormatan, yang dipilih dari prajurit-prajurit wanita cantik. Mereka ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.

Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentukArmada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati. Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah pimpinan Cournoles dan Frederichde Houtman di perairan Aceh pada tahun 1599 Masehi.

Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu dengan membawa sedikitnya 2000 pasukan yang sebelumnya telah dilatih terlebih dahulu dibawah komando perempuan tangguh Malahayati. Laksamana Malahayati pula yang ditugaskan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah IV, untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris, Sir James Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada16 Juni 1606.

Utusan itu membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh. Sejarah Aceh juga mewariskan wanita-wanita negarawan, yang ulung sebagai pemimpin seperti: Ratu Nahrisyah, SriRatu Tadjul Alam Syafiatsuddin Syah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, Sri Ratu Zaniatuddin Syah, serta Sri RatuKemalat Syah. Ada juga Putri MeurahIntan, Pucot Baren, dan Cut Nur Arsyikin. Dalam menegakkan harga diri, tak ada kompromi bagi perempuan Aceh. Karena dalam berjuang, perempuan Aceh memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi).

Kadang-kadang perempuan Aceh menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh musuhnya. Perempuan Aceh juga adalah perempuan yang mampu menanti suaminya pergi berperang dengan setia dan menjaga anaknya. Setidaknya peran perempuan sebagai ibu bisa tercermin dalam lirik lagu berikut yang sering disenandungkan bagi anak-anak Aceh takala mereka masih balita: Aduhaido ku do da idi (Aduhai do ku do da idi) Meurahpati ateuek awan (Burung merpati di atas awan) Beuridjangrajeuk banta Saidi (Cepat besar anakku sayang) Djakprang sabi bila agama (pergi ke medan perang membela agama) Dalah Peran perempuan sebagai Ibu telah terpatri dalam budaya Aceh secara turun temurun. Sebagai istri, ia wajib meneruskan perjuangan suaminya, jika sang suami mati di medan perang.

Tetapi sebaliknya, apabila sang suami ternyata adalah seorang penghianat, perempuan Aceh rela kehilangan apa pun demi mempertahankan harga dirinya. Misalnya saja ada seorang pria yang bekerja sebagai informan musuh ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari pihak musuh atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh.

Sang Informan itu pun ditangkap dan dibunuh,sebagai balasan menghianati bangsanya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat pada bangsanya, dan telah mencoreng harga dirinya. Sikap perempuan Aceh ini terbentuk karena pengaruh Islam yang kuat. Dalil-dalil Islam dijadikan landasan bagi kaum perempuan dalam menentukan sikap. Sejak masa Kerajaan Islam Perlak, Samudra Pasai, hingga Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara dan sumber humunya yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijma’,dan Qiyas. Berdasarkan hukum inilah perempuan Aceh melandaskan segala tindakannya, termasuk dalam keadaan perang sekalipun.

Dalam peperangan itu pun, kemampuan perempuan Aceh tidak kalah dibandingkan dengan kaum pria. Kemampuan perempuan untuk memimpin, menyusun taktik, hingga turutserta ke medan perang, telah dibuktikan dengan sejumlah prestasi gemilang. CutNyak Dien sendiri juga membuktikan hal ini dengan naik sebagai pemimpinperlawanan sepeninggalan suaminya – Teunku Umar yang dinikahi pada tahun 1878. Gambaran heroik perempuan Aceh sempat dituliskan oleh orang Eropa bernama H.C.Zentgraaff. Dalam Perang Aceh, Zentgraaff mencatat dengan detail sebagaimana kaum laki-laki yang mengangkat senjata, perempuan Aceh juga berperang dengan jiwa dan raganya.

Zentgraaff menuliskan: “Perempuan-perempuan Aceh yang gagah dan berani merupakan perwujudan lahiriah dari dendam kusumat yang paling pahit. Perwujudan jasmaniah watak yang tak kenal menyerah yang setinggi-tingginya, dan apabila mereka ikut bertempur, maka dilakukannya dengan energi dan semangat berani mati, yang kebanyakan lebih dari kau lelakinya. Perempuan Aceh adalah pemikul beban dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan maut sekali pun,ia masih berani meludahi muka si kaphe (Sebutan kafir atau kafeer dalam bahasa Aceh).

Tidak seorang pengarang roman pun, dapat membuahkan karangan dengan daya fantasi yang berkhayal setinggi apa pun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi.” – (H.C. Zentgraaff, 1982/1983:74). Pernyataan Zentgraaff ini dibuktikan oleh Cut Nyak Dien, yang tak rela menyerah meski pun penyakit mendera tubuh dan matanya. Diakhir perjuangan Dien dalam melakukan perlawanan, ia smasih empat mencabut rencong sebagai tanda pantang menyerah.

Heroisme yang ditunjukkan oleh Cut Nyak Dien juga ditulis oleh Zentgraaff; “Tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh. Dan perempuan Aceh, melebihi kaum perempuan bangsa-bangsa yang lainnya. Dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah, dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka.” – (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 95). Inilah frame Zentgraaff untuk memaknai perempuan Aceh.

Kesimpulan dari analisisZentgraaff terpolarisasi dengan penyebutan para perempuan Aceh sebagai “de leidster het verzet” (pemimpin perlawanan) dan “grandes dames”
(perempuan-perempuan besar.).*** PUTRA GARA

Laksamana Keumalahayati, Armada Inong Balee Dan Perlawanannya Terhadap Imperialisme



Jumat 24 Zulhijjah 1433 / 9 November 2012 14:01

Oleh, Nazirah



“Bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani dalam berperang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lain dalam keberaniaan dan tidak gentar mati, bahkan mereka melampui kaum lelaki yang sudah dikenal bukanlah lelaki yang lemah dalam mempertahankan agama dan cita-cita mereka… Wanita Aceh berjuang sabil Allah, di atas jalan Tuhan, menolak segala macam kompromi, dia tidak bersifat munafik, dan hanya mengenal alternatif ini saja, membunuh musuh atau dibunuh musuh.. Dan adakah suatu bangsa di jagad ini yang tidak menulis dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan luar biasa?”

H.C. Zentgraaff[1]

“Dengan tatapan tajam, ia berdiri dengan gagah berani, berdiri di balik benteng, Laksamana Malahayati yang didampingi para Laskar Inong Balee menatap nanar penuh kemarahan ke arah selat Malaka. Ribuan kapal Belanda tampak di kejauhan, menyemuti lautan, siap menyerang Aceh. Laksamana Malahayati tak gentar menatap kapal yang dipenuhi ribuan tentara Belanda. Darahnya mendidih, murka. Nalurinya untuk mempertahankan agama dan bangsa kian membuncah. Seketika, perempuan berhati baja nan perkasa ini menghunus rencong dari sarung yang selalu tersampir di pinggangnya.

Dengan nada tegas, beliau memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan kapal perang. Dengan langkah pasti, beliau menaiki kapal perangnya untuk beradu kekuatan melawan tentara kafir Belanda di tengah laut Haru. Sejenak, setelah memejamkan mata, dengan takdzim beliau mengucap “Bismillah”, maka keluarlah perintah dari lisannya untuk menyerang penjajah. Beliau bertekad, kalaupun mati hari ini, syahid yang akan ditemuinya. Ini jihad.. Seketika, takbir pun membahana di seantero bandar Aceh, hingga menusuk relung kalbu.”

Sejarah akan tetap menjadi sejarah yang tidak akan pernah dapat dibungkam. Sejarah bukanlah sesuatu yang hanya membincangkan masa lalu, namun ia merupakan hikmah (inspirasi) untuk masa depan. Maka, perhatikanlah sejarahmu untuk masa depanmu[2].

Sesudah Valentijn[3], maka yang pertama kali menaruh perhatian khusus pada sejarah Aceh adalah William Marsden, dialah yang membawa pulang ke Eropa naskah-naskah Aceh yang pertama dan menyerahkannya kepada perpustakaan King’s College[4]. Dalam bukunya yang berjudul History of sumatera, dia menyampaikan bahwa Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Sumatera yang mencapai kedudukan yang cukup tinggi dalam politik dunia sehingga menjadi pokok pembicaraan dalam sejarah[5].

Tentu hal ini tidak aneh, mengingat pada kurun abad ke-16 sampai ke-17, Banda Aceh menjadi pusat percaturan politik dan ekonomi, tidak saja dalam kawasan Nusantara, melainkan juga dalam rantau Asia Tenggara. Di mana, pada masa ini Aceh menjadi salah satu dari “Lima Besar Kerajaan Islam” yang terikat dalam satu kerjasama ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan.

Lima Besar Kerajaan Islam[6] tersebut, yaitu:

Kerajaan Islam Turki Utsmaniyah yang berpusat di Istambul, Asia Minor
Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara
Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
Kerajaan Isfahan di Timur Tengah
Kerajaan Islam Agra di Anak Benua India

Aceh, sebagai salah satu Propinsi Indonesia yang terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatera, diapit oleh dua laut, yaitu Lautan Indonesia dan Selat Malaka. Secara Astronomis dapat ditentukan bahwa daerah ini terletak antara 950 13’ dan 980 17’ Bujur Timur dan 20 48’ dan 50 40’ Lintang Utara. (JMBRAS, 1879 : 129). Jelas, posisi ini memperlihatkan bahwa Aceh sebagai tempat yang sangat strategis, karena merupakan pintu gerbang lalu-lintas perdagangan dan pelayaran internasional. Dari letaknya yang sangat strategis inilah, maka tidak mengherankan jika pada zaman Kerajaan Aceh, daerah ini banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa asing, seperti Cina, Arab, India bahkan Eropa, di mana tujuan kedatangan mereka adalah untuk melakukan suatu transaksi dalam berbagai kepentingan perdagangan, diplomasi, tranformasi ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Kedatangan berbagai bangsa Asing merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh itu sendiri, baik secara politis, kultural maupun ekonomis. Namun demikian, di antara bangsa-bangsa asing yang datang tersebut tidak semua memberikan keuntungan bagi Kerajaan Aceh. Hal ini terbukti dengan adanya bangsa yang ingin menguasai daerah untuk kepentingan kolonial dan imperialismenya. Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan antagonisme dan reaksi dari berbagai pihak yang merasa dirugikan. Tidak sedikit kerajaan-kerajaan di Nusantara yang akhirnya harus berperang dengan para kafir penjajah yang mengedepankan semangat imperialisme dan kolonialisme Barat.

Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia pada masa ini, juga bukan merupakan kawasan paling dinamis. Akan tetapi, orang-orang Eropa, terutama Portugis, mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu yang kemudian melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu petualangan mengarungi samudera. Dengan bekal pengetahuan Geografi dan Astronomi dari bangsa Arab yang seringkali tersebar di kalangan Kristen Eropa lewat para sarjana Yahudi, orang-orang Portugis menjadi mahir dalam melakukan aksi ini. Setelah bangsa Portugis, datanglah orang-orang Belanda yang mewarisi aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis. Orang-orang Belanda membawa organisasi, persenjataan, kapal-kapal, dan dukungan keuangan yang lebih baik serta kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama. Tujuan mereka satu, yakni menguasai “Kepulauan Rempah”[7].

Sejarah telah mencatat, bangsa asing pertama yang melakukan kontak dengan Kerajaan Aceh dan kemudian menimbulkan konflik adalah bangsa Portugis. Setelah berhasil menduduki Malaka pada tahun 1511, adalah Afonso de Albuquerque yang memimpin ekspedisi ini, dengan membawa kekuatan kira-kira 1.200 orang, dan 17 atau 18 buah kapal. Peperangan pecah dengan segera setelah kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis. Portugis bermaksud menguasai daerah-daerah lain, termasuk aceh untuk dijadikan sebagai daerah jajahannya. Melihat gerak gerik Portugis yang merugikan tersebut, Aceh sebagai kerajaan besar berusaha untuk melawan dan mengusirnya. Hal ini dilakukan karena kehadiran Portugis sebagai agresor, telah merusak keharmonisan kehidupan dan jaringan perdagangan yang sudah menjadi tradisi di kawasan selat Malaka dan sekitarnya. Konflik Aceh versus Portugis tersebut cukup lama, berlangsung sepanjang abad ke-16 hingga akhir perempat abad ke-17.

Dalam usahanya menghancurkan Armada Portugis di Selat Malaka, Aceh bekerja dengan sama Kerajaan Islam lainnya di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Islam Demak di Jawa. Pada tahun 1521 Angkatan Laut Aceh bersama Armada Patiunus (Pangeran Sabrang Lor) menyerang Malaka. Walaupun dalam penyerangan tersebut mengalami kegagalan, Aceh tidak putus asa. Di waktu-waktu selanjutnya, terus dilakukan penyerangan-penyerangan yang menyebabkan Portugis tidak aman di Malaka. Dalam pertempuran laut yang berlangsung cukup lama tersebut, lahirlah para tokoh terkemuka dari kedua belah pihak. Hal ini dapat kita lihat dari karya-karya penulis asing maupun penulis bangsa Indonesia yang melukiskan kepahlawanan dan semangat juang para panglimanya. Tentang sejarah Aceh dapat ditemukan sejumlah nama yang pernah menjadi figur yang pantas untuk diteladani. Salah satu dari tokoh-tokoh pahlawan Aceh di antaranya yaitu Laksamana Keumalamayati, yang secara tradisional disebut oleh orang Aceh dengan nama Malahayati atau Hayati[8].

Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, pada tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Laksamana Keumalahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana Angkatan Laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya telah berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani.

Keumalahayati memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589- 1604), beliau diangkat menjadi Komandan Protokol lstana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam. Jabatan sebagai Komandan Protokol lstana bagi Keumalahayati merupakan jabatan yang tinggi dan terhormat. Jabatan tersebut sangat besar tanggungjawabnya, karena di samping menjadi kepercayaan Sultan, juga harus menguasai soal etika dan keprotokolan, sebagaimana lazimnya yang berlaku di setiap istana kerajaan di manapun di dunia. Bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati sebagai Komandan Protokol Istana, diangkat pula Cut Limpah sebagai Komandan Intelijen Istana (geheimraad)[9]. Karena kesuksesan Keumalahayati dalam menjalani tugas ini, maka Sultan memberikan tugas lain, yaitu tugas untuk mengemban misi sebagai pemimpin pasukan Angkatan Laut.

Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara Armada Portugis versus Armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan seribu prajuritnya yang syahid. Salah seorang Laksamana yang syahid dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah suami Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia.

Kemenangan Armada Selat Malaka Aceh atas Armada Portugis disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang syahid di medan perang. Walaupun dirinya bangga, ia tetap geram dan marah pada Portugis. Maka tidak mengherankan jika ia bersumpah akan terus memerangi Portugis. Maka, untuk melaksanakan niatnya ini, ia mengajukan permohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk Armada Aceh yang prajurit-prajuritnya terdiri dari semua wanita janda, yang suami mereka syahid dalam pertempuran Teluk Haru. Mengingat Keumalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni dari Akademi Militer, maka Sultan pun mengabulkan permohonannya. Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai Panglima Armada dan diangkat menjadi Laksamana.

Adalah Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Bale (Armada Wanita Janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda). Setelah terbentuknya Armada Inong Balee yang terdiri dari para janda, maka berikutnya adalah peran Armada ini dalam mempertahankan Kerajaan Aceh Darussalam, Armada ini sangat berjasa dalam menjaga laut Aceh dari penjajahan Portugis dan Belanda yang ingin menguasai wilayah Aceh dan mengambil kekayaan Aceh dengan langkah pertama yang coba dirintis yaitu menguasai laut sebagai jalur transportasi pada saat itu.

Salah satu peristiwa yang mengangkat nama Malahayati adalah peristiwa Cornelis De Houtman[10] bersaudara. Tepatnya tanggal 21 Juni 1599, pasukan Belanda yang dikepalai oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman, diserbu oleh pasukan Inong Balee karena kedua bersaudara yang memimpin pasukannya berkhianat terhadap pemerintahan kerajaan Aceh yaitu dengan menyamarkan kapal perang menjadikannya kapal dagang, oleh sebab itu maka atas kejelian Armada Aceh diketahuilah niat Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman, sehingga Armada Inong Balee menyerang pasukan penjajah Belanda tersebut. Dalam pertempuran itulah Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Laksamana Malahayati dengan rencongnya sedangkan saudaranya Frederijk de Houtman ditawan oleh Armada Inong Balee dan diserahkan pada Kerajaan Aceh Darussalam.

Seorang penulis wanita, Marie van zeggelen, dalam bukunya Oud Glorie, menulis, ”Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya oleh Laksamana Malahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang Frederijk de Houtman dan ditawannya serta dibawa ke darat. Davis dan tomkins menderita luka..” Alhasil, ketangguhan Armada yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati membuat Portugis dan negara Eropa lainnya risih, terlebih karena Armada Inong Balee Aceh telah memiliki seratus buah kapal perang, yang setiap kapal dilengkapi dengan meriam-meriam dan lila-lila. Kapal terbesar dilengkapi dengan lima meriam. Untuk ukuran zaman itu, Armada Inong Balee dipandang sebagai Armada yang kuat di Selat Malaka bahkan di samudera Asia Tenggara[11].

Tidak dapat dipungkiri, bukan hanya kekuatan yang dimiliki oleh para pejuang Aceh dalam melawan imperialisme Portugis dan Belanda. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki oleh para “kaphe (kafir)” penjajah, yakni perintah Tuhan. Seperti apa yang disampaikan oleh H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang berjudul Aceh, dia menulis “Orang-orang yang beriman dan berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thagut, maka perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu sangat lemah. (QS. An-Nisa:76)[12]. Wallahu‘alam bi ash-shawaab.

Penulis adalah Pengajar di Husnayain Boarding School, Sukabumi.

[1] H.C. Zentgraaff. Aceh. Hal: 95

[2] QS. Al-Hasyr: 18

3François Valentijn (17 April 1666–1727) adalah seorang misionaris, naturalis dan penulis buku terkenal berjudul Oud en Nieuw Oost-Indiën (“Old and New East-India”), sebuah buku tentang sejarah Dutch East India Company dan negara-negara Timur Jauh. François Valentijn lahir tahun 1666 di Dordrecht, Belanda di mana ia tinggal akan tetapi aktivitas hidupnya lebih banyak berada di daerah tropis, kepulauan Indonesia terutama berada di Ambon, Kepulauan Maluku, yang sangat dikenalnya. Wikipedia.

[4] Naskah-naskah ini kemudian diserahkan kepada koleksi perpustakaan School of Oriental and African Studies. Denys Lombard. Kerajaan Aceh: Zaman Kesultanan Iskandar Muda (1607-1636). Hal:33

[5] William Marsden. History Sumatera. London: 1974

[6] Prof. Dr. Ismail Suny S.H.M.C.L. Bunga Rampai tentang Aceh. Hal: 208

[7] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Hal: 41.

[8] (Van Zeggelen, 1935 : 89). H.M. Zainuddin. Tarikh Aceh. 1961. Hal: 294

[9] Pocut Haslinda Syahrul. MD. Perempuan Aceh, Dalam Lintas Sejarah Abad VIII-XXI. Hal:56

[10] Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi perniagaan Belanda pertama ke Nusantara pada tahun 1595-1597, yang menyatakannya perdagangan langsung dengan Hindia. Namun, dia seorang yang otoriter dan tidak bijaksana. (Robert Cribb dan Audrey Kahin, 2012: 169).

[11] Lihat uraian komprehensif Denys Lombard mengenai Politik Penaklukan dalam bukunya “Kerajaan Aceh Darussalam, Zaman Kesultanan Iskandar Muda (1607-11636) . Hal: 124-145

[12] H.C. Zentgraaf, Aceh. Hal: 379

INONG BALEE DALAM LINTASAN SEJARAH ACEH

Catatan oleh Basa Aceh Basa Geutanyoe

29 April 2009 pukul 13:27

Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam yang berdiri setelah beberapa kerajaan kecil seperti kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Pereulak, kerajaan Pedir yang bergabung dibawah Kerajaan Aceh Darussalam. Keberadaan kerajaaan Aceh Darussalam dimulai oleh Sultan Ali Mughayat Syah sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah berdirinya kerajaan ini maka sultan Alaidin Mughayat Syah mulai memperkuat dan memperluas kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam dengan menyerang Portugis di kerajaan Daya (Aceh Jaya sekarang), berikut menyerang Portugis yang ada di kerajaan Pedir (Kabupaten Pidie sekarang), dan setelah itu menyerang Portugis yang ada di kerajaan Samudra Pasai (Geudong Aceh Utara sekarang), berikutnya ke kerajaan Pereulak, kerajaan Beuna, dan kerajan Aru di Sumatra Timur serta malaka di Semenajung Malaysia.

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kejayaannya pada masa kepemimpinan sultan Iskandar Muda, namun demikian ada peristiwa menarik pada masa sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil (yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam mulai 997-1011 H atau 1589-1604 M) dimana pada masa sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil terjadi pertempuran antara armada selat malaka Aceh dengan armada Portugis. Didalam pertempuran tersebut sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil memimpin sendiri armadanya dengan dikawal oleh dua orang laksamana.

Pertempuran teluk Haru berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara dua orang laksamana Aceh bersama seribu prajuritnya syahid, Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut gembira oleh seluruh masyarakat Kerajaan Aceh Darussalam, namun demikian laksamana Malahayati merasa geram dan marah kepada Portugis mestipun peperangan dimenangkan oleh armada Aceh. Laksaman Malahayati adalah istri salah satu laksamana yang syahid dalam perang laut Haru tersebut. Laksamana Malahayati diangkat oleh sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil menjadi komandan protokol istana Darud Dunia.

Karena geram dan tidak senang terhadap Portugis kemudian Malahayati memohon kepada sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil agar membentuk sebuah armada Aceh yang prajurit–prajuritnya adalah para wanita janda, dimana suami mereka telah syahid dalam perang teluk haru, permohonan Laksamana Malahayati dikabulkan oleh sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil dan laksamana Malahayati diangkat sebagai panglima armada tersebut. Armada ini kemudian disebut dengan sebutan armada Inong Balee (armada wanita janda) dengan mengambil teluk Krueng Raya sebagai pangkalan armada.

Bila ditelusuri Keumala Hayati (Laksamana Malahayati), sewaktu muda pernah mendapat pendidikan militer pada pusat pendidikan tentara Aceh yang bernama pusat pendidikan Asykar Baital Makdis. Para instrukturnya, antara lain terdiri dari para perwira Turki Usmani dalam rangka kerja sama dengan kerajaan Aceh Darussalam.

Malahayati memilih pendidikan angkatan laut, karena dalam tubuhnya telah mengalir darah prajurit laut. Ayah dan kakek laksamana Malahayati adalah para prajurit armada perang laut Aceh. Semangat dan kecintaan laksamana Malahayati terhadap laut Aceh dan kebenciannya terhadap Portugis serta kematian suaminya dimedan perang Haru menjadi latar belakang terbentuknya pasukan Inong Balee pada kerajaan Aceh Darussalam yang dibentuk pada masa sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil melalui izin yang diberikan kepada laksaman Malahayati untuk membentuk armada perang yang terdiri dari janda-janda yang telah ditinggalkan oleh suami mereka yang gugur dimedan perang dalam mempertahankan wilayah kerajaan Aceh Darussalam.

Sebelum armada Inong Balee turun Ke arena Perang Para pasukan Inong Balee Ini Diberikan Pelatihan Militer, yang dilatih oleh laksamana Malahayati agar kemudian para Inong Balee ini menjadi mahir dalam mengunakan senjata dan mampu mengendalikan kapal-kapal serta memiliki kemampuan fisik yang kuat sehingga menjadikan pasukan ini menjadi pasukan yang tangguh.

Latihan militer tersebut diberikan di benteng Inong Balee yang sekarang terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar untuk mencapai tempat tersebut kita harus melintas 1 kilo meter dari jalan krueng raya. Keberadaan benteng Inong Balee di tepi jurang dan dibawahnya terdapat pantai dengan batuan karang.

Benteng Inong Balee ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan para janda yang suaminya telah gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai tempat penempatan logistik perang. Dari posisi dan letak benteng Inong Balee sangatlah strategis sebagai wilayah pertahanan.

Pasukan Inong Balee yang dibentuk oleh sultan Alauddin Riayat syah Al- Mukammil merupakan armada perang yang semua personilnya terdiri dari para janda–janda yang ditinggalkan oleh suaminya, pasukan Inong Balee ini di pimpin oleh laksamana Malahayati.

Nama armada Inong Balee inilah juga yang kemudian menjadi nama sebuah kesatuan dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh yang seluruh anggotanya terdiri dari para perempuan-perempuan Aceh, Baik yang sudah menikah maupun yang masih gadis.

Setelah terbentuknya armada Inong Balee yang terdiri dari para janda, maka berikutnya adalah peran armada ini dalam mempertahankan Kerajaan Aceh Darussalam, armada ini sangat berjasa dalam menjaga laut Aceh dari penjajahan Portugis yang ingin menguasai wilayah Aceh dan mengambil kekayaan Aceh dengan langkah pertama yang coba dirintis yaitu menguasai laut sebagai jalur transportasi pada saat itu.

Salah satu peristiwa yang mengangkat nama Malahayati adalah peristiwa Houtman bersaudara, Ketangguhan armada yang dipimpin oleh laksamana Malahayati membuat portugis dan negara Eropa lainnya risih, karena armada Inong Balee Aceh telah memiliki seratus buah kapal perang, yang setiap kapal dilengkapi dengan meriam-meriam dan lila-lila.

Kapal terbesar dilengkapi dengan lima meriam. Untuk ukuran zaman itu, armada Inong Balee dipandang sebagai armada yang kuat di selat malaka bahkan di samudra Asia Tenggara, seperti yang di jelaskan oleh Deny Lembard dalam bukunya kerajaan Aceh dizaman Iskandar Muda.

Laksamana Malahayati adalah anak dari laksamana Mahmud Syah Bin-Laksaman Muhammad Said Syah, bin Sultan Salahuddin Syah (memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 936 sampai dengan 945 H atau 1530 sampai dengan 1539 M).

Kegagahan dan ketangguhan Malahayati dan armada nya telah terbukti dimana pada tanggal 21 juni 1599 M pasukan Belanda yang dikepalai oleh Cornelis de houtman dan Frederijk de houtman, diserbu oleh pasukan Inong Balee karena kedua bersaudara yang memimpin pasukannya berkhianat terhadap pemerintahan kerajaan Aceh yaitu dengan menyamarkan kapal perang menjadikannya kapal dagang, oleh sebab itu maka atas kejelian armada Aceh diketahuilah niat Cornelis de houtman dan Frederijk de houtman, sehingga armada Inong Balee menyerang pasukan Belanda tersebut.

Akhirnya Cornelis de houtman mati ditikam oleh laksamana Malahayati dengan rencongnya sedangkan saudaranya Frederijk de houtman ditawan oleh armada Inong Balee dan diserahkan Kerajaan Aceh Darussalam. Seorang penulis wanita, Marie van zeggelen, dalam bukunya: Oud Glorie, antara lain menulis yang diterjemahkan sebagai berikut:
” Dikapal van leeuw telah dibunuh cornelis de houtman dan anak buahnya oleh laksamana malahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang frederijk de houtman dan ditawan nya serta dibawa kedarat. Davis dan tomkins menderita luka...”

Selain itu di Kerajaan Aceh Darussalam dikenal juga dengan nama sukey Inong kaway istana atau resimen wanita pengawal istana yang dibentuk oleh Sultan Muda Ali Riayatsyah V (Memerintah dalam tahun 1011 sampai dengan tahun 1015 H atau 1604 sampai dengan tahun 607 M). Semuanya terdiri dari wanita, baik yang masih gadis maupun wanita muda yang telah bersuami dan sukey ini dipercaya oleh sultan untuk mengawal kerajaan Darud Dunia.

Hal ini membuktikan bahwa di Aceh telah adanya suatu penghargaan terhadap perempuan, sehingga perempuan selalu mengambil andil di dalam perpolitikan Aceh sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam hingga sekarang. Tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan yang ada hanyalah perbedaan bentuk jenis kelamin yang kemudian membedakan fungsi perempuan dalam kehidupan biologis.

Di dalam rentetan sejarah sering terdengar nama-nama besar para wanita Aceh sebagai orang yang berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagi upaya perjuangan hak-hak Aceh, misalkan Tengku Fatimah, Pocut Baren, Tengku Fakinah, Pocut Meurah Intan, yang oleh kita perlu mengabadikan semangat perlawanan mereka, Mereka adalah beberapa wanita Aceh yang memperjuangkan Aceh dan masih banyak perempuan lainnya yang setia akan kemerdekaan Aceh dan kejayaan Aceh sebagai negara yang berdaulat.

Tradisi militer perempuan Aceh kemudian terus berkembang hingga sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam Aceh (1607-1636 M), sehingga sampai pada tahun 1873 Belanda memaklumatkan perang dengan kerajan Aceh Darussalam, patriotisme perempuan Aceh yang begitu besar juga terlihat pada masa perang dengan Belanda.

Demikian rindangnya sejarah Aceh, dan peran perempuan Aceh dalam lingkaran sejarah khususnya pasukan inong balee yang telah menyisakan monumen sejarahnya di Aceh. Jika boleh kiranya pemerintah memperhatikan hal ini semua.



PAHLAWAN INONG ACEH

Catatan Si Pijuet

Kamis, 27 Oktober 2011

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. meraka bukan hanya pahlawan wanita yang berjuang dengan tulisan atau pemikiran saja tapi mereka ikut terjun langsung ke medan pertempuran, mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang, mengobati yang luka, bahkan banyak diantara mereka yang menjadi pemimpin pasukan dalam peperangan melawan kaum penjajah.

Sejak jaman dahulu kaum perempuan Aceh sangat terkenal dengan semangat dan keberaniannya sebagai Mujahidah melawan bangsa penjajah, mereka gigih berjihad mulai dari hutan belantara sampai lautan bersama-sama para Mujahidin.

Dalam sejarahnya Kerajaan Aceh Darussalam memiliki 31 orang Sultan, dan beberapa diantaranya adalah Sultan Perempuan atau disebut Sultanah. Mereka adalah; Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).
Tak bias dibantahkan lagi . aceh menjadi gudang penghasil pahlawan perempuan. Tentu saja sebutan itu bukan asal sebut. Mari kita buka lembar sejarah bumi seramoe mekah ini. Maka sederet nama-nama pejuang Aceh tersuguhkan. Kisahnyapun tak kalah heroic dari kaum agam alian kaum laki-laki

1. Cut nyak dien



Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Cut Nyak Dien lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya. Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya.

Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik.

Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh.

Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Lama-lama pasukan Cut Nyak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.

Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.



Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Cut Nyak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

2. Laksamana Malahayati



Bicara soal perempuan hebat, ada sedikit cerita tentang sosok perempuan lain yang berbeda generasi dari RA Kartini. Perempuan yang untuknya tidak ada lagu pujian. Pahlawan yang jarang disebut namanya. pahlawan yang tidak pernah diungkit sejarahnya. Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Dialah Laksamana Malahayati.

Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis). Konon kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.

Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.

Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.

Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Laksamana Malahayati …. grande dame (perempuan yang agung). Pahlawan emansipasi yang terlupakan.

3. Pocut Baren



Pada tahun 1910, Belanda yang dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap gua di Gunung Mancang yang disinyalir markas para pejuang Aceh. Pasukan Belanda ketika itu mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui.

Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Seorang wanita yang menjadi panglima dalam pertempuran itu ikut tertembak dibagian kakinya. Dan diapun tertangkap.

Wanita itu tak lain adalah Pocut Baren. Pocut Baren adalah seorang Uleebalang di Tungkob. Ia bukanlah wanita pertama yang memerintah di aceh; sebelumnya –berabad-abad yang lalu- telah ada ratu-ratu1 yang mengendalikan pemerintahan, tak kalah hebatnya dengan pria dan Pocut
Pocut Baren adalah seorang tokoh pejuang wanita yang pada masa Perang Aceh sangat terkenal keberaniannya melawan kolonilalisme Belanda.

la adalah sosok wanita pejuang yang heroik. Di samping itu ia juga dikenal sebagai seorang uleebalang wanita yang mampu membangun daerahnya di Tungkop, Aceh Barat yang porak poranda sebagai akibat terjadinya perang yang berkepanjanganBaren merupakan pengganti pria.

Lahir pada tahun 1800, merupakan puteri dari Teuku Cut Amat; keluarganya sudah sekian lama turun temurun menjadi Uleebalang di Tungkob. Bila melihat sekarang banyaknya kendaraan yang memudahkan untuk datang kemana saja, tentu Tungkob bukanlah daerah yang jauh. Tapi bila melihat tungkop lima puluh tahun silam, Tungkob itu benar-benar jauh dipedalaman, di daerah Woila Hulu. Ia merupakan sebagian federasi Kawai XII yang kedalamnya termasuk juga Pameue, Geumpang, Tangse, Anoe dan Ara dan dari nama-nama itu orang segera dapat mengetahui bahwa tempat tersebut terletak di pusat pegunungan.

Pocut Baren seorang wanita bangsawan yang lahir di Tungkop. la adalah putri Teuku Cut Amat, seorang Uleebalang Tungkop yang sangat berpengaruh, terpandang berwatak keras dan pantang menyerah. Daerah keulebalangan Tungkop merupakan bagian dari daerah federasi Kaway XII yang letaknya berada di Pantai Barat Aceh, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Aceh barat.

Bersuamikan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang.

Di gambarkan oleh H.C. Zentgraaff, Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok, mungkin sejenis pedang Turki yang sangat terkenal di pantai Barat.

Adapun wilayah Tungkop terletak di kawasan Hulu Sungai Woyla. (Zentgraaff; 1982/1983 : 137). Oleh Pemerintah Belanda, pada tahun 1922 Keuleebalangan Tungkop dimasukkan ke dalam Onderafdelling Meulaboh, bersama-sama daerah lainnya, seperti Bubon, Lhokbubon, Kaway XVI (Meulaboh), Seuneuam, Betong dan Pameue. Daerah-daerah ini menjadi daerah swapraja yang dalam istilah Belandanya disebut Zelfbesturen. Daerah ini oleh pemerintah Belanda diakui sebagai daerah zelfbesturen menurut peraturan organisasi pemerintah sebagaimana diatur dalam Stablad 1922 Nomor 451. (Hassan, 1980: 194).

Walaupun kedudukannya masih berada di bawah payung Kerajaan Aceh Darussalam, Federasi Kaway XII ini telah mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (hak otonom). Kaway XII dan daerah sepanjang Krueng Woyla merupakan daerah yang banyak menghasilkan emas. Dengan kekayaan emasnya yang melimpah tersebut, telah mendorong orang-orang dari Minangkabau berdatangan untuk menambang daerah penghasil emas tersebut.

Orang-orang Minangkabau yang bermukim di daerah Kaway XII dan sepanjang Krueng Woyla, setelah bercampur baur dengan masyarakat Aceh, keturunannya dikenal dengan nama masyarakat Aneuk Jamee. Kaway XII merupakan daerah tambang emas di dalam wilayah Kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Keujruen yang disebut Keujreun Meuih. Keujreun Meuih mempunyai tugas mengambil hasil emas dan pajak-pajak lainnya dari pertambangan emas di dalam wilayah federasi tersebut. (Djajadiningrat, 1934:693).

Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910.

Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren.

Setelah penangkapannya oleh Belanda, dia dipindahlan ke kutaraja. Kakinya yang tertembak karena tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi. Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.

Namun demikian perlawanan Pocut tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.

Untuk kelancaran perjuangannya, Pocutpun memikirkan agar tersedianya logistik yang cukup. Maka Pocut menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya. Dan mulai membangun saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Hasil nya tidak main-main. Saat panen tiba daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.

Itulah semangat Uleebalang Wanita Aceh ini. Kecacatannya tidak menjadikan dia berputus asa dan kehilangan semangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren meninggal di tahun 19332. Dalam masyarakatnya nama wanita ini meninggalkan kenangan sebagai seorang wanita di pantai Barat yang paling cakap dan penuh vitalitas dari semua wanita yang ada di daerah itu.

Membangun Perekonomian Rakyat

Kejujuran dan keterbukaannya mengingatkan kita pada Pocut Baren sebagai seorang wanita pejuang yang dapat menghormati musuhnya ia mengambil manfaat itu untuk menyelamatkan rakyatnya. Selain pemberani, ulet dan suka berterus terang, Pocut Baren juga seorang wanita yang sangat cerdas. Kecerdasannya ia buktikan dalam pelaksanaan pekerjaannya sebagai seorang uleebalang. Perjuangan secara fisik dalam menentang Belanda telah diakhirinya. Walaupun demikian, ia tetap berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya dengan cara membangun kembaii negerinya menjadi sebuah negeri yang makmur. Untuk itu ia mengajak seluruh rakyatnya agar mau bekerja keras.

Selama masa perjuangan melawan Belanda, perekonomian masyarakat mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena sawah ladang para petani dibiarkan terbengkalai menjadi lahan tidur. Sebagian besar penduduk terlibat dalam perang melawan Belanda, sehingga waktu untuk bekerja di sawah dan berternak maupun menangkap ikan menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan munculnya banyak kemiskinan dan bencana kekurangan pangan.

Untuk memperbaiki kehancuran ekonomi rakyat di daerah Tungkop tersebut, Pocut Baren berjuang keras agar masalah ekonomi rakyat yang hancur tersebut dapat segera diatasi. Sebagai seorang uleebalang, Pocut Baren ternyata juga cakap dalam bidang pertanian dan pemerintahan desa. Dengan ketrampilannya di ladang pertanian dan pemerintahan tersebut, ia memimpin rakyatnya agar secara bersama-sama membangun desanya.

Sawah-ladang para petani yang semula ditinggalkan diusahakan kembali agar tidak ada satupun di antaranya yang terbengkalai. Kebun-kebun penduduk harus ditanami dengan pepohonan yang dapat memberikan hasil pada pemiliknya. Untuk itu muncul gerakan penghijauan dengan menanam tanaman pangan, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman keras lainnya. Dengan mendapatkan pembinaan dari seorang uleebalang wanita, masyarakat menanami kebunnya dengan tanaman kelapa, pala, kakau, cengkih, nilam, mangga, pisang, jagung dan lain-lain tanaman yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.

Dalam bidang pengairan untuk mengairi sawah-sawah milik para petani, Pocut Baren menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang airnya dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk, sehingga pada musim kemarau sawah-ladang milik petani tidak akan kekeringan. Untuk menghindarkan perselishan di antara para petani, maka perlu diadakan pembagian air secara bergilir. Untuk menghindarkan serangan hama dan penyakit tanaman, Pocut Baren menyarankan agar para Petam menanam padi secara serempak, sehingga siklus kehidupan hama dapat diputus. Agar hasil panen lebih memuaskan, maka perlu adanya perbaikan cara bercocok tanam yang benar. Pocut Baren juga memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani kepada masyarakat.

Panca usaha tani tersebut yaitu : (1) Melakukan pengolahann tanah secara baik dan benar, dengan memanfaatkan tenaga kerbau dan sapi untuk membajak sawah. (2) Cara menyemaikan bibit padi yang benar, dengan memilih padi lokal jenis unggul; (3) Melakukan pemberantasan hama secara bersama-sama, dengan memanfaatkan predator. Yang dimaksud predator di sini yaitu hewan yang memangsa hewan lain yang menjadi hama tanaman; (4) Memberikan pupuk dengan dosis yang tepat pada tanaman padi.

Adapun pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan kompos atau pupuk organik; dan (5) Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Setelah masa panen para petani juga disarankan agar memanen padinya dengan baik dan benar. Untuk menyimpan hasil panen, perlu dibuatkan tempat penyimpanan padi (lumbung).

Jika ada anggota masyarakat yang malas bekerja, ia tidak segan-segan untuk menegurnya. Untuk itu ia bekerja keras untuk mengabdi pada rakyatnya. Buah usahanya yang keras, ulet dan tak mengenal lelah itu, pada akhirnya akan membuahkan hasil yang menggembirakan. Beberapa tahun setelah Pocut Baren
membina desanya, hasilnya mulai kelihatan. Secara berangsur-angsur kehidupan rakyatnya yang tadinya sangat menderita, mulai membaik. Perekonomian rakyat mulai bergairah kembali. Berkat kepemimpinannya sebagai seorang uleebalang wanita, Tungkop menjadi daerah yang aman, tentram dan makmur. Ketika musim panen tiba, daerah Tungkop mengalami surplus produksi pertanian sehingga hasilnya dapat dikirim ke daerah lain yang membutuhkan.

Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan menjadi daerah yang aman dan makmur membuat pemerintah Belanda yang membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Hal ini ditunjukkan dengan adanya laporan Letnan H. Scheurleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah yang juga merangkap penguasa sipil.

la melaporkan kepada atasannya di Kutaraja bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran. (Zentgraaf, 1982/1983 : 139). Sebagai tanda terima kasihnya, Veltman sekali lagi memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut Baren. Ia menghadiahkan sebuah kaki palsu yang di buat dari kayu untuk wanita itu. Kaki palsu tersebut didatangkan langsung dari negeri Belanda.

Setelah memakai kaki palsu pemberian dari Veltman, Pocut Baren mendapat julukan sebagai "De Vrouwelijke Oeleebalang methet houten been" (Doup, 1940 : 204; Zentgraaff; 1982/1983 : 138-139). Keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan memantapkan keamanan dan ketertiban di daerahnya menunjukkan bahwa Pocut Baren bukan hanya seorang pejuang dan pemimpin rakyat, tetapi juga seorang yang ahli dalam bidang agronomi.

Sebagai Penyair
Pocut Baren yang lahir sebagai anak bangsawan ternyata mempunyai banyak bakat alam. Di samping ia sebagai seorang pejuang yang tangguh, ahli dalam bidang pemerintahan agronomi, ternyata ia juga ahli dalam bidang kesenian dan kesusastraan Aceh. Pada saat-saat tertentu syair-syaimya sering dibacakan atau dilantunkan di depan publik. Keahliannya dalam bidang kesusastraan dan kesenian Aceh tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya mengalir darah seni yang kental. Pada saat-saat istirahat dari kesibukannya sebagai pemimpin pemerintahan, ia merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.

Di saat-saat demikian darah pujangganya mengalir dengan deras. Kenangan-kenangan masa lalunya ia tuangkan dalam bentuk pantun dan syair. Telah banyak pantun dan syairnya yang ditulisnya dalam bahasa Aceh dan huruf Melayu Arab. Oleh para penulis Belanda, karya sastranya banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di perpustakaan Universitas Leiden di Nederland.

Oleh masyarakat Aceh sendiri, karya sastranya juga telah banyak dilantunkan pada waktu-waktu tertentu dan acara-acara yang memungkinkan untuk dibacakan. Bahkan telah banyak orang yang mampu menghafal buah karyanya dan ia dendangkan pada saat-sat senggang atau pada acara keluarga. Hasil karya sastranya sampai saat ini masih banyak orang yang melantunkamya. Adapun salah satu contoh penggalan syairya yang tertuang dalam bahasa Aceh sebagai berikut :

Ie Krueng Woyla ceukoe likat
Engkot jilumpat jisangka ie tuba
Seungap di yub seungap di rambat
Meurubok Barat buka suara
Bukon sayang itek di kapai
Jitimoh bulee ka si on sapeue
Bukon sayang bilek ku tinggai
Teumpat ku tido siang dan malam (Zentgraaff, 1982/1983 : 140-141).

Syair tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut :
Sungai Woyla keruh pekat
Ikan melompat dikira racun tuba
Sunyi di kolong, senyap di rambat (sebutan untuk ruang antara dapur dan rumah utama)
Meureubok (sejenis burung berkicau) barat buka suara
Aduhai sayang itik di kapal
Bulunya tumbuh aneka wama
Tinggallah engkau bilikku sayang
Tempat peraduanku siang dan malam.

Keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan kepiawaiannya dalam memimpin serta bakatnya di bidang kesusastraan Aceh membuat rakyatnya mencintai Pocut Baren. Apalagi syair-syair yang diciptakannya sangat digemari oleh masyarakat luas. Betapapun besarnya cinta yang dimiliki rakyatnya, tak akan mampu melawan takdir. Pada suatu saat orang pasti akan mati, meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Setelah saatnya tiba, Pocut Baren akhirnya meninggal pada tahun 1933, meninggalkan rakyatnya untuk selama-lamanya. (Zentgraaff, 1982/1983 : 142).

4. Cut meutia



Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh.
Cut Meutia lahir di Perlak, Aceh Utara, pada tahun 1870, dan meninggal dunia di Pasai 24 Oktober 1910. Ia pernah menikah tiga kali. Suami pertama bernama Teuku Sjam Sarief, kemudian diceraikan, karena sang suami berpihak kepada Belanda.

Kemudian, Cut Meutia menikah lagi dengan Teuku Cut Muhammad. Dengan suami keduanya itu ia berperang bersama-sama dengan Belanda, sampai akhirnya Teuku Cut Muhammad ditangkap.

Belanda sendiri sangat gusar terhadap gerakan yang dimainkan oleh Teuku Cut Muhammad dan istrinya Cut Mutia. Teuku Cut Muhammad makin banyak mendapat simpati dari masyarakat wilayah Keureuto dan sekitarnya, karena dia juga mahir berkelahi.

Mayor HNA Swart, komandan pasukan Belanda kala itu, diperintahkan untuk menempuh berbagai jalan guna menangkap hidup-hidup Teuku Cut Muhammad. Hingga Maret 1905, Belanda berhasil menawan Teuku Cut Muhammad dengan tipu muslihat dan disekap di dalam penjara Lhokseumawe.

Pada tanggal 25 Maret 1905, Teuku Cut Muhammad dijatuhi hukuman gantung, tapi tidak sempat dilakukan karena gubernur Van Daalen pengganti Van Heutz mengubahnya menjadi hukuman tembak.

Menurut Van Daalen, dia tidak layak menjatuhi hukuman gantung terhadap orang-orang yang berjuang dengan cara gagah berani seperti Teuku Cut Muhammad. Setelah meninggal, Cut Meutia menikah lagi dengan kerabat dekat Cut Muhammad yang juga seorang pejuang yang bernama Pang Nangru (meninggal September 1910 di Paya Cicem).

Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.

Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu
Tjoet Njak Meutia gugur.

5. Pocut meurah intan



Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXXI Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XII mukim : Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.

Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.

Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu #Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,

1. Tuanku Budiman, dan
2. Tuanku Nurdin.

Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.

Pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Pada tanggal 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.

Peningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.

Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.

Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana.

6. Tengku fakinah

Teungku Fakinah adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar dengan nama singkatnya disebut Teungku Faki , pahlawan perang yang ternama dan pembangunan pendidikan ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau mengalir darah ulama dan darah penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman belajar.

Sesudah Teungku Fakinah dewasa, dalam tahun 1872 dikawinkan dengan Teungku Ahmad dan Aneuk Glee oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku Ahmad yang dipanggil Teungku Aneuk Glee ini membuka satu Deah/perguruan (pesantren) yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa'at atas dukungan orang Lam Beunot dan Imuem Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang dari Pidie. Tatkala menentang serangan I Belanda, Teungku Imam Lam Krak serta Tengku Ahmad/Teungku Aneuk Glee tarot dalam pasukan VII Mukim baet mempertahankan Pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu yang di komandokan oleh panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia.

Dalam pertahanan perang itu pada tanggal 8 April 1873 tewaslah Panglima perang besar Rama Setia, Imeum Lam Krak, Tengku Ahmad Anuek Glee suami dari Tengku Fakinah dalam membela Tanah Air. Semenjak Tengku Fakinah telah menjadi janda yang masih remaja. Maka semenjak itulah beliau membentuk Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma Baktinya terhadap Tanah Air yang terdiri dari janda-janda dan wanita-wanita lainnya untuk menjadi anggota amal tersebut Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar yang kemudian berkembang sampai ke Pidie.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggotaanggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah.

Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segi tiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.

Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pertahanan berpindah ke Kuta ke kota Lam Bhouk, Pagar Aye (Lhung Bata), maka dalam tahun 1883 pertahanan itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech Saman yang disebut Tengku Tjik Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk Galong bekas Kuta Panglima Polem Nyak Banta, yang dulunya telah di rampas oleh pihak Belanda yaitu pada tahun 1878.

Maka dengan demikian serentaklah dari masing-masing pemimpin peperangan mendirikan kutakuta lain, seperti halnya Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku) dan lain-lain. Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah Kuta (Benteng Pertahanan) di bawah Komando Tengku Fakinah, yang masing-masing di pimpin oleh seorang komandan bawahan, yaitu:

1. Kuta Lam Sayun, dipimpin oleh Tengku Pang M. Saleh.
2. Kuta Cot Garot, dipimpin oleh Tengku Pang Amat.
3. Kuta Cot Weue, dipimpin oleh Tengku Fakinah sendiri.
4. Kuta Bak Balee, Dipimpin oleh Habib Lhong.

Adapun yang membangun kuta-kuta (Benteng-Benteng) ini adalah kaum lelaki, kecuali Kuta Cot Weue dikerjakan oleh wanita-wanita sejak dan membuat pagar, menggali parit dan pemasangan ranjau dilakukan sendiri oleh para wanita yang diawasi oleh panglima perangnya Teungku Fakinah sendiri bersama rekanrekannya wanita lain seperti :

1. Cutpo Fatimah Blang Preh,
2. Nyak Raniah dari Lam Uriet,
3. Cutpo Hasbi,
4. Cutpo Nyak Cut, dan
5. Cut Puteh.

Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas mufakat orang-orang patut agar Tengku Fakinah Panglima Perang itu, dijodohkan dengan Tengku Nyak Badai yang berasal dari Pidie, lepasan murid Tanoh Abee. Alasan untuk mengawinkan Teungku Fakinah ini adalah karena seorang panglima perang wanita dalam siasat perang senantiasa harus bekerja sama dengan laki-laki yang sering melakukan musyawarah. Dalam pandangan masyarakat umum tidak layak dalam suatu perundingan seorang wanita tidak didampingi oleh suaminya.

Dengan demikian Teungku Fakinah dapat menerima saran dari orang-orang tua ini, maka dengan demikian perkawinan mereka dilangsungkan. Setelah perkawinan itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat berusaha untuk mengumpulkan benda-benda perlengkapan persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara pengikutnya. Namun dalam tahun 1896 suami kedua beliau yaitu Tengku Nyak Badai tewas ketika diserbu oleh pasukan Belanda dibawah komandan Kolonel J. W Stempoort. Di antara Pahlawan yang memimpin pasukan di bawah komando Teungku Fakinah, adalah :

1. Habib Abdurrahman, yang lebih terkenal dengan Habib Lhong, Beliau Syahid dalam suatu pertempuran.
2. Tengku M. Saleh, Beliau juga Syahid
3. Tengku Ahmad, yang lebih terkenal dengan Teungku Leupung, Beliau tidak Syahid, akan tetapi masih sempat membantu Teungku Fakinah dalam kehidupan pembangunan
4. Tengku Nyak Badai, suami kedua Teungku Fakinah, dan Beliau juga Syahid
5. Tengku Daud, Beliau juga Syahid.

Cut Nyak Dhien tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah, sejak perang di Aceh Besar berkecamuk, Beliau sudah dikenal baik dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak Dhien ke Lam Krak senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi pengikut-pengikut Teuku Umar. Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain hitam dan uang tunai.

Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita satria ini sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengarkan T. Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda Lalu Teungku Fakinah bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Cut Nyak -Dhien juga ikut membelot ataukah T. Umar sendiri. Jika T.

Umar sendiri mengapa Cut Nyak Dhien tidak menahan maksud suaminya itu agar tidak bergabung dengan musuh. Demikian pertanyaan itu terpendam dalam hatinya. Teungku Fakinah memikirkan untuk mengirimkan utusan kepada Cut Nyak Dhien untuk menanyakan isi hati dari rekannya itu, namun belum ada seorang wanita pun yang berani pergi ke Peukan Bada untuk bertemu langsung dengan Cut Nyak Dhien.

Sementara itu tersiar berita bahwa T. Umar sedang bergerak bersama serdadu Belanda menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cot Pring, Cot Raja, dan Cot Ukam.

Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan hanya dua orang saja tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai dan Peukan Bada. Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku rekan lamanya, dengan menyampaikan beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, dengan katakata:

"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon : Yu Jak beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".

Artinya : sampaikan kata saya kepada Cut Nyak Dhien ; suruh datang suaminya Teuku Meulaboh untuk berperang dengan perempuan-perempuan janda supaya orang dapat melihat keberaniannya, bahwa laki-laki melawan wanita janda.

Setelah cukup pembicaraan dengan kedua wanita Bitai itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan kepada wanita lain yang dipercayanya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien. Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien sangat cemas hatinya, kemudian disunth panggil kedua wanita Bitai itu melalui wanita kepercayaannya untuk bertemu langsung denganya Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang takut ditangkap, selama dua hari di tunggu-tunggu oleh Cut Nyak Dhien, mereka tidak kunjung datang.

Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan pada wanita lain bahwa dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak, yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah. Maka besok paginya datanglah kedua wanita itu kerumah Cut Nyak Dhien dan keduanya diterima dengan ramah tamah. Diserambi belakang mereka duduk bertiga membicarakan khabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu disuruh balik ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk pembeli kapur dan sirih.

Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak. Sesampainya di Lam Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan pesan-pesan Cut Nyak Dhien yang isinya:

"Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee soet".

Artinya "Hati Cut Nyak Dhien seperti semula, saya beri keinsyafan terhadap langkah suami saya yang telah berperosok. Hubungan lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa mudah-mudahan Tuhan kembalikan langkah kami seperti semula".

Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung Pahlawan Tanah air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari Lam Pisang. Pindah Ke Tangse Sesudah jatuhnya Seulimum, Teungku Fakinah mengungsi ke lammeulo (Cubok), mula-mula ia tinggal di Tiro bersama dengan Teuku Tjik di Tiro Mat Yeet, setelah itu pindah ke Tangse dan sekaligus membangun tempat tinggalnya di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun).

Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Semua sisa harta benda, emas dan perlengkapan senjata diangkut ke daerah baru ini, dan didaerah ini juga dibangun Deah (perguruan/Pasantren) tempat wanita mengaji Al-Qur'an. Namun dalam tahun 1899 perkampungan ini diserang oleh tentara Belanda dan rumah tempat tinggal Teungku Fakinah diobrak abrik dan sebagian emas milik Teungku Fakinah diambil oleh serdadu Belanda, sementara beliau terlepas dari kepungan serdadu tersebut.

Semenjak itu Teungku Fakinah tidak lagi membuat kuta (benteng), namun hanya bergerilya basama-sama Pocut lam gugob istri dari Tuanku Hasyim banta Sultan, Pocut Awan yaitu ibu dari Tengku Panglima Polem dan dengan wanita-wanita lain yang masih aktif bergerilya mengikuti jejak suaminya mengarungi hutan belantara, berpindah-prndah sampai kepegunungan Pasai, dan Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar, dalam pengawasan Tengku Nyak Mamat Peureulak. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya dengan cara berpindahpindah.

Kembali ke Lam Krak Sesudah Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Teuku Raja Keumala dapat ditundukkan oleh Van Heutz, maka pada tanggal 21 Mei 1910 atas permintaan Teuku Panglima Polem, supaya Teungku Fakinah pulang kembali ke kampung halaman untuk membuka kembali deah/pesantren di Beuha (Lam Krak). Dengan demikian pada tahun 1911 Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membuka kembali Deah/Pesantren, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum.

Dalam pembangunan pesantren ini, banyak pihak masyarakat dengan secara sukarela mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi, sehingga pembangunan ini berjalan dengan lancar. Setelah deah ini berdiri, maka banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Aceh seperti halnya : seluruh pelosok 3 segi Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan gadis-gadis untuk belajar mengaji ke Lam Krak.

Simpatisan masyarakat terhadap Pesantren Teungku Fakinah sangat besar, sehingga tempat ini setiap harinya banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar mukim Lam Krak. Demikian juga, banyak yang datang mengantar sumbangan sosial untuk biaya hidup bagi murid-murid Deah/Pesantren, sehingga murid-murid yang belajar disitu, selain dapat bantuan pangan dan orang tuanya, juga menerima bantuan dari masyarakat umum. Ada juga bentuk sumbangan lainnya yang disumbangkan oleh masyarakat terhadap Deah/Pesantren tersebut seperti Al- Qur'an dan kitab yang diperlukan untuk pelajaran.

Dalam tahun 1914 Teungku Fakinah berhasrat untuk menunaikan rukun kelima yaitu naik Haji. Sebelum beliau berangkat terlebih dahulu mencari muhrimnya. Dengan demikian beliau kawin dengan seorang yang bernama Ibrahim, yang merupakan suaminya yang ketiga. Dalam bulan Juli 1915 beliau berangkat menuju tanah suci Mekkah. Di Mekkah beliau menumpang di rumah wakaf Aceh, jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syech Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar. Selesai melaksanakan rukun Haji, beliau masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu Pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syech Muhammad Saad yang berasal dari Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh gurugurunya dilakukan di dalam Masjidil Haram Mekkah kepada murid-muridnya.

Selama tiga tahun berada di Mekkah untuk memperdalam ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suami beliau yaitu Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah kembali ke Aceh, setibanya di Lam Krak disambut dengan meriah oleh murid-muridnya, dan ketika itupulalah beliau memimpin kembali Deah/Pesantren yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Mekkah kepada muridmuridnya. Teungku Fakinah Mangkat Pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M, Teungku Fakinah sebagai Pahlawan dan Ulama Wanita Aceh menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun.

Dengan meninggalnya Teungku Fakinah, maka telah tertanam duka cita yang sangat mendalam khususnya bagi masyarakat Mukim Lam Krak, VII Mukim Baet, yang meliputi seluruh murid-muridnya dan simpatisan seluruh Aceh Besar, bahkan daerah Aceh Timur, Aceh Barat, dan Pidie, sehingga berdatangan dari segala penjuru di atas ke rumah duka/Deah untuk menyatakan rasa duka cita dan berlangsung belasungkawa.

http://www.kapanlagi.com/clubbing/showthread.php?t=22593
http://ndobos.com/archives/133id.wikipedia.org/wiki/Malahayati
http://vhourkhanrasheed.blogspot.com/2011/06/cut-meutia.html
http://iloveaceh.blog.com/?p=131
http://adekrawie.wordpress.com/2008/01/10/laksamana-malahayati-pahlawan-emansipasi-yang-terlupakan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Teungku_Fakinah
Diposkan oleh rahmad amien di 05.35